Spirit Muda di Zaman Irit
Thank you very much. I am glad to be here.
Itulah kalimat yang sering diutarakan oleh seorang filsuf Slovenia, Slavoj Zizek, sebelum ia membuat pikiran pendengarnya menuju arah utara-selatan, timur-barat. Ia berbicara tentang persoalan politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Dalam pembicaraan itu, Zizek menaruh pemikiran filosofisnya sendiri, sebuah sintesa dari pemikiran Hegel-Marx-Lacan.
Slavoj Zizek, lahir pada 21 Maret 1949. Ia mengajar di university of Ljubljana, Slovenia. Juga di Lodon, Swiss, dan lain sebagainya. Sebagai seorang filsuf, ia sangat terkenal karena pemikiran-pemikirannya yang nyentrik (kritis). Karenanya, ia lebih dikenal sebagai selebritas-filsuf atau “Elvis of Culture Studies”. Lebih dari sisi sinis terhadap pemikiran Zizek, ada baiknya juga bila kita berbagi beberapa sloki dari vodka Slovenia.
Manusia Sebagai Subyek
Dalam membicarakan manusia dan sebagai subyek, Zizek banyak meramu dan merumuskan ulang pemikran bapak psikologi Sigmud Freud dan “pastor” psikoanalisis Jacques Lacan. Lantas, ia menyusunnya dalam tiga formasi psikoanalisis Zizekian, yaitu imaginer, simbolik dan the real.
Formasi imajiner (imaginary) dekat dengan fase cermin Freudian. Pada tahap ini, seperti pada fase cermin, seorang anak seakan pertama menemukan dirinya dalam tampilan (gaze) cermin. Pada cermin, anak-anak sangat narsis untuk melihat dirinya. Bukan untuk memuja narsistik, tetapi hanya untuk mendeteksi diri secara visual. Seseorang pun mengenal dirinya dalam citra visual terhadap dirinya (l’image speculaire). Akan tetapi citra diri yang teridentifikasi adalah totalitas diri yang eksterior. Artinya ada keterbelahan definisi antara diri yang yang ideal dan diri yang visual. Lacan menulis, “la premiere connaissance de soi est méconnaissance”. Pengertian pertama tentang diri adalah pengertian yang salah.
Lalu, masuklah kita pada formasi simbolik (the symbolic). Pada konteks ini, subyek mulai mengenal dan mengidentifiaksikan dirinya dalam struktur-strukktur simbol. Lacan sendiri mengadopsi struktur linguistik Ferdinan de Saussure dengan memasukan struktur bahasa sebagai ranah simbolik. Melalui bahasa, subyek mengindentifikasinya diri. Pada tahap ini, aturan-aturan (nom du Pere-“Primal Father”), pemerintahan, institusi dikenal sebagai tatanan simbolik yang mengatur struktur ketaksadaran manusia, yaitu hasrat itu sendiri (desir).
Padahal, dari alam ketaksadaran, subyek selalu mengikuti hasrat. Di sini, tatanan simbolik mengkastrasi hasrat. Pada konteks ini, hasrat terbaca (via bahasa) sebagai hasrat-yang Lain (désir de l’Autre) dan hasrat dari apa yang dihasrati yang Lain (désir de son désir). Hasrat-yang Lain adalah proses recognisi (che Vuoi?). Selanjutnya adalah hasrat yang dihasrati oleh orang lain dalam diri kita. Our desire is not our own, the are the Other’s.
Karena itulah selaras dengan teori linguistik, hasrat subyek terbaca dari struktur bahasa pernyataan (subject of the enunciation) dan pengutaraan (subject of the enunciated). Pernyataan berdimensi sadar– I who speak, pengutaraan berdimensi tak sadar– I of the sentence. Keterbelahan subyek seperti ini terjadi karena adanya “lack”, kekurangan atau ketertundaan dalam diri subyek. Lack adalah proses subyektivikasi yang nyaris terus muncul yang ditandai dengan munculnya “object petit a” (obyek hasrat yang dihasrati subyek). Sementara subyek yang keluar dari tatanan simbolik adalah diri yang teralienasi (Marxism).
Sampai pada titik the real, subyek terdorong untuk mencapai sesuatu di luar bahasa. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sesuatu yang terkonstruksi melalui bahasa. The real adalah yang tak mampu dikurung dalam bahasa. Sejatinya, the real adalah pilar tatanan imajiner dan simbolik. Artinya pendeteksian tatanan the realakan membentuk sesuatu yang imajiner dan simbolik, tetapi tak pernah selesai. The real never finish: sebuah ranah yang diadaikan mendahalui realias material (simbolik).
Dari situlah Zizek menemukan diri yang absolut (“subyek tanpa subyek”) dengan pendekatan Hegelian. Subyek yang absolut adalah substansi yang terus berkonfrontasi. Bahwa subyek selalu berdialektika dengan realitas dan terus menjadi (subyektivikasi). Ada tiga substraksi the real: the Real-real (das ding an sich), the Symbolic-real (teori kuantum), the Imaginary-real (painting).
Enjoy!
Sebagai subyek yang terus berdialetika, orang muda selalu berkonfrontasi dengan diri atau ego dalam tatanan imaginer dan simbolik. Pada tataran imajiner, pemuda tampak mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu yang diluar dirinya (Ernesto Che Quevara, artis korea dll). Identifikasi ini diikuti dengan proses memetik. Bagi Lacano-Zizekian, ini adalah indentifikasi yang salah (méconnaissance). Karena totalitas subyek masih mengalami fragmentasi.
Citra subyek yang mengalami fragmentasi itu biasanya dikonstruksi oleh The Big Other. Citra yang dikonstruksi oleh the Big Other bukan disebabkan oleh “lack”, melainkan diperoleh melalui operasi fantasi. Deteksi ideologi bisa dimulai dari sini juga (ideologi Starbucks: the more you buy, the more you feel guilty). Disinilah proses simbolik subyek dimulai. Lantas hasrat yang terbentuk dalam diri subyek sejatinya hasrat yang dihasrati oleh orang lain.
Pada persoalan hasrat itu, Zizek mengemperkenalkan desire (hasrat) dan jouissance (enjoyment:kenikmatan). Hasrat itu desire of others. Sementara kenikmatan adalah bentuk alienasi subyek yang setara dengan “sengasara membawa nikmat”. Itu selalu menimbulkan ketagihan.
Subyek yang keluar jalur simbolik adalah diri yang mau memerintahkan diri secara sadar untuk “enjoy!”. Inilah spirit yang ada dalam subyek yang otentik. Spirit is bone, tulis Hegel. Spirit adalah kerangka senjati yang mengerakan “tubuh” pikiran, gerakan dan lain sebagainya. Boleh jadi spirit itulah ‘the real” yang selalu tak habis teridentifikasi.
Think!
Bahwa orang muda perlu berpikir. Menurut Zizek, the world needs thinking. Tanpa berpikir, dunia akan hacur oleh orang bodoh yang rajin. Berpikir menuntun tindakan. Berpikir sebelum bertindak.
Berbagai persoalan bersama adalah persoalan perspektif dalam berpikir. Karena itulah pemuda yang berfilsafat itu penting. Di sini, kita mulai berfilsafat manakala kita mulai tidak mengamini segala sesuatu. Tujuannya agar kita tidak berkubang dalam “the way we solve problem is part of the problem itself”.
Maka tindakan revolusioner adalah buah dari pikiran rasional manusia. Orang muda harus berada dalam barikade itu. Tindakan revolusioner ada untuk merebut kembali “hak yang menjadi hak”. Kemerdekaan dan keadilan tidak datang dari langit, bukan? Ia muncul dari tindakan revolusiner. Tanpa itu, kita duduk manis dalam kelopak tiram utopia. Bagi Zizek, utopia bukan sesuatu yang mengawang di angkasa, melaikan sesuatu yang tidak mau kita lakukan sementara kita bisa bila kita mau melakukannya. Maka kata Zizek, revolusi itu seperti perempuan. Kita tidak mungkin hidup bersamanya. Tetapi akan lebih tidak mungkin bila hidup tanpa perempuan!!
What Has To be Done
Zaman kita sedang irit. Irit karena manusia bisa melakukan (possible) untuk melakukan hal-hal spekatkuler (ke bulan, kloning, panjang umur, dll), tetapa mustahil (impossible) melakukan sesuatu yang “reguler” (pendidikan dan kesehatan).
Apa yang harus dilakukan? Jokowi menawarkan “revolusi mental”. Spirit orang muda perlu diradikalisasi. Arahnya, revolusiner. Mari kita ingat Gandhi. Satya Graha dan ahimsa. Itulah revolusioner. Non violence of maximum violence. Apa yang dilakukan Gandhi adalah melumpuhkan sistem kolonial Inggris.
Bukankah itu bahasa lain dari cinta? Love is evil, kata Zizek. Cinta membuat kita bisa berkurban tanpa merasa berkurban. Karena itulah ada istilah fall in love. “There is no love without the fall”, kata Alain Badiou.
Singkatnya, orang muda perlu berpikir revolusioner sebelum bertindak. Berpikir revolusioner adalah fall in love without feel guilty.
Alfred Tuname
Zizekian