Oleh Alfred Tuname
… Plouton: Nah, selamat jalan, Aiskhylos yang agung dan bijak, naiklah, selamatkan negeri kita ini dengan puisi-puisi bijak dari pikiranmu yang mumpuni itu; berikan nasehat bijak, dan didiklah kawanan bedebah itu, karena banyak kedunguan bersemayam di sana”.
-Arisophanes (dalam Paideia, karya Haryanto Cahyadi, 2017)
Mulanya, status Facebook Luko Modo tertanggal 10 Agustus 2018. “Festival politik itu menakjubkan sekaligus menakutkan”, tulis Luko Modo. Bukan status Facebook biasa, tentunya. Akun Facebook itu milik Ketua DPRD Manggarai Timur, Lucius Modo. Nama bekennya, Luko Modo (terdengar seperti sapaan orang Italia).
Status Facebook Luko Modo tersebut sekaligus menggelitik dan menyulut perbincangan panjang. Ada ratusan komentar, dengan derivasi hermenetika politik yang menarik. Itu biasa. Sesuatu yang diunggah ke medsos (Facebook), biasa menjadi resepsi publik (netizen). Publik pun cenderung bebas menguliti isi pesan tersebut.
Sebagai politisi, status Facebook Luko Modo pasti menyikut pikiran publik. Status itu tampaknya sekadar ungkapan ekspresif seorang politisi. Sayangnya, ekspresi itu “berisi”. Artinya, status Facebook itu bukan hanya sebagai “curhatan” politik, tetapi juga melepas jaring peringatan. Bahwa, politik itu juga menakutkan. Baik itu bagi politisi sendiri, maupun rakyat itu sendiri.
Ketika matematika politik seorang politisi salah, ia akan kalah. Bagi seorang politisi, kekalahan itu menyakitkan. Sebab, dalam kondisi kalah, nasi yang sudah di piring bisa saja hilang sesaat. Atau bisa jadi, aliran darah bisa saja berhenti.
Karena itulah ada yang mengatakan, seorang politisi harus memiliki dua jantung. Kita ingat kata Winston Churchill, “in war, you can only be killed once, but in politics, many times”. Tentara terbunuh sekali dalam perang, politisi dibunuh berkali-kali.
Benarlah kata Luko Modo, politik itu menakutkan. Tentu, menakutkan bagi para politisi yang tidak siap (jasmani dan rohani). Apalagi, bila posisi politisi disempitkan hanya sebagai profesi (motif ekonomi). Padahal, posisi politisi itu bagian dari sekaligus mandat dan kepercayaan.
Menjadi anggota dewan (DPR/DPRD) itu bagian dari mandat dan kepercayaan masyarakat. Kalau masyarakat masih percaya, mandat pasti melekat. Jika tidak, maka itu adalah resiko politik yang harus direfleksikan. Refleksi politiknya harus kembali pada diri politisi itu sendiri, bukan pada rakyat yang memilih. “Siapa yang menanam angin, dia yang menuai badai”.
Karenanya, refleksi politis a la Sokrates perlu dipertimbangkan. Kata Sokrates, “gnoti se auton kai meden agan”: kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Seorang politisi mesti mengenali diri. Tak perlu memaksakan diri atau pun dipaksakan. Hindari prinsip “cala delek” (sapa tahu mujur) atau politik aji mumpung.
Dalam festival politik (Pilkada, Pilpres, Pileg), takaran popularitas, aksebtabilitas harus menjadi titik start, sebelum terjun dalam optimisme elektabilitas. Popularitas memang bisa dibeli. Ada banyak “salon politik” bisa melakukan “make over” seorang politisi. Tetapi kadar aksebtabilitas dan elektabilitas susah tertangkap radar politik. Semua tergantung “angin” yang ditanamkan: “angin ribut atau angin sepoi-sepoi basah”.
Nah, tampaknya Luko Modo sedang mempertahankan barometer politik “angin sepoi-sepoi”-nya. Angin sepoi-sepoi itu membuat konstituennya tampak tertidur pulas, aman dan ingin selalu dihembusi angin itu. Mereka tak lari, apalagi “main hati”.
Tentu saja, politik itu bukan soal angin itu. Sebagai politisi, kualitas intelektual (komunikasi politik-melaju, political lobying, wawasan luas) dan visi politik (struggle for people) Luko Modo sangat luar biasa untuk rakyat Manggarai Timur. Posisinya sebagai Ketua DPRD Manggarai Timur semakin memadatkan (embodied) kualitas intelektual dan integritas Luko Modo. Politik Manggarai Timur masih membutuhkan politisi seperti ini.
Luko Modo memang pernah dibicarakan dalam Pilkada Manggarai Timur 2018. Tetapi itu hanya “meme politik” lokal. Sebab, tampaknya ia lebih memilih menjadi Ketua DPRD, tinimbang berambisi yang, mengutip Sokrates, “berlebih-lebihan”. Menjadi Ketua DPRD itu posisinya “linear” dengan bupati/wakil bupati.
Mungkin memang Luko Modo sudah sangat mengenali diri. Ia tahu potensi; ia mengerti ekskalasi. Keanggunan langkah politik Luko Modo itu adalah, mutatis mutandis lirik lagu Siti Badriah, “politik yang emang syantik, tapi bukan sok cantik”. Itulah politisi yang otentik.
Politisi otentik itu dekat dengan sikap negarawan. Prinsipnya, people first. Karena mengedepankan kepentingan rakyat dan dekat dengan rakyat, seorang politisi pasti bisa menangkap keinginan rakyat. Political feeling-nya pasti pas.
Politisi otentik itu “elo rating” politiknya pasti di atas 2800 dalam percaturan politik. Manuver dan kalkulasinya akurat. Dari situlah publik bisa membedakan, mana politisi yang benar (:otentik) dan mana “salon-politici” (mengutip Bung Hatta).
Betul memang dalam buku The Political of Aesthetics kata Filsfuf Jacques Ranciere, “man is a political animal because he is a literary animal who lets himself be diverted from his natural purpose by the power of words”. Dengan literasi dan rasio, manusia dibedakan dari bintang.
Sayangnya, ada banyak juga politisi kita yang watak “kebinatangannya” (:korupsi, kumpul harta, malas sidang, tidak bisa berargumentasi, dll) lebih dominan. Politisi seperti inilah yang harus ditarik kembali mandat dan kepercayaan oleh masyarakat.
Itulah seharusnya yang menakjubkan dalam politik. Sebab, rakyat bisa menarik kembali mandat dan kepercayaannya dari politisi (DPR/DPRD) yang tidak becus urus rakyat. Kedaulatan itu ada di tangan rakyat.
Akhirnya, karena festival politik Pileg/Pilpres 2019 “emang lagi syantik”, kita berharap kelak ada politisi yang benar-benar “dari, oleh dan untuk rakyat”. Yakni, mereka yang mampu “selamatkan negeri kita ini dengan puisi-puisi bijak dari pikiran yang mumpuni; beri nasehat bijak, dan didik kawanan bedebah, karena banyak kedunguan bersemayam”.
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)