Oleh Alfred Tuname
“Halim Perdana Kusuma” sangat ramai di sore itu. Manusia dan kendaraan berseliweran merampas waktu. Tak ketinggalan tas dan kover yang bawa. Manusia ada dengan tujuannya masing-masing. Entah dari mana dan ke mana tak pernah kita tahu. Pengetahuan sosio-antropologi hanya menjadi pentunjuk awal tentang asal-asul seseorang. Selebihnya, entalah.
Seseorang yang baru datang ke Jakarta akan merasa “ketinggalan pesawat”. Nyaris tak ada yang begitu hiruk-pikuk jika di bandingkan dengan beberapa tempat di daerah di Indonesia. Cepat dan cepat. Itu saja. Setiap detik, orang berganti di retina mata.
Thus fulus menjadi “tanda pengenal” yang sama. “Kencing aja, bayar bang!”. Begitu suara samar-samar terdengar. Itulah Jakarta. Semua serba bayar. Uang bisa bayar serba. Namanya ibu kota negara, velositas uang harus berputar cepat. Jika tidak, Jakarta bisa mampus menjadi kota mati. Jelas saja, jika begitu Indonesia juga bisa ambruk.
Tak usah banyak protes. Nikmati saja alur jalan pikir dan jalan raya ibu kota. Toh, nanti juga terbiasa. Terlalu banyak protes juga tidak baik, sebab protes hanya untuk manusia yang lamban dan lemah: otot dan otak. Copet saja satu bentuk “kerja” kreatif di ibu kota. Bukan soal moral, tetapi perihal kesempatan bertahan hidup biar tak redup. Tentu copet berbeda dengan korupsi, sebab korupsi itu soal rakus dan tamak. Bukan bertahan hidup.
Hidup Jakarta, selain dibutuhkan akal kreatif, dibutuhkan juga keberanian:keberanian mengambil langkah dan risiko. Seorang driver Grab mengambil risiko dengan meninggalkan korporasi angkutan Blue Bird. Dulu, Jakarta itu “lautan biru” (biru warna taxi Blue Bird). Sekarang, Jakarta itu “lautan hijau” (Hijau warna Grab dan Gojek). Persis pemimpin Jakarta yang lahir dari militansi “partai hijau”.
Bagi seseorang yang baru datang ke Jakarta, keberanian untuk bertanya itu sangat penting. Pernyataan menjadi “lampu hijau” untuk melangkah, setidaknya mengenal kota Jakarta. Tak usah sok tahu. Malu bertanya bisa sesat di kamar.
Dapat dipahami, seorang dari daerah akan merasa kejang-kejang (shock) melihat Jakarta yang sangat maju. Semua serba canggih dan indah, meskipun watak kebinatangan manusia masih dijumpai di keramaian jalan. Apa saja ada di Jakarta. Mulai dari yang halal sampai haram tersedia. Kadang antara halal dan haram hanya dibatasi oleh satu sekat plastis yang tipis. Soal moral dan etika, itu cuma ada saat sarapan pagi. Selebihnya, survival of the fittest!
Seorang pendatang akan menjumpai praktik seleksi alam dalam teori Darwin di Jakarta. Berjalan kakilah malam-malam hingga subuh. Saat itu akan terlihat mobil-mobil mewah berlarian kencang melahap jalan, sementara di trotoar dan depan toko ada tikus-tikus sedang bermain di kaki orang miskin yang sedang tidur. Tampaknya, fakir miskin dan orang-orang terlantar dilindungi dan pelihara tikus. Di trotoar, tikus lebih perkasa tinimbag kucing. Maklum, kucing cuma satu, tikusnya beratus-ratus.
Persis dalil Rocky Gerung, “bagi orang miskin, hidup adalah tragedi; bagi orang kaya, hidup adalah komedi”. Miskin itu menyedihkan. Yang lihat pun sedih, apalagi mereka yang merasakan. Berbeda dengan orang kaya, hidup itu penuh perlombaan dan permainan. Apa pun bisa diatur, asal dekat dengan sang pengatur dan fulus.
Apa pun situasinya, tetap ada “manusia” di Jakarta. Mereka adalah orang yang penikmat kasih dan pembawa cinta. Maksudnya, manusia yang punya rasa kemanusiaan. Siapa mereka? Mereka adalah saudara dan keluarga.
Jika bukan, mereka adalah homo economicus. Jasa diukur dengan harga yang harus dibayar. Selebihnya, jangan harap.
Kenallah Jakarta dan kehidupannya. Waspada dan bertanya itu penting. Biar kelak tidak diperdaya atau dikibuli orang lain, seperti kandidat kalah Pilkada dikibuli calo cebol yang menawarkan pengacara-pengacara “kawe” untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Sangat memalukan, bukan?
“Sapa suru datang Jakarta, aduhai sayang?”
Alfred Tuname
Esais