Oleh Alfred Tuname
Hari sudah senja. Acara syukuran kemenangan Pilkada masih berlangsung. Seorang pria bertubuh besar datang secara langsung memberikan ucapan selamat dan profisiat kepada pemenang Pilkada Mangarai Timur (Matim) 2018, Agas Andreas, SH., M.Hum dan Drs. Jaghur Stefanus atau Paket ASET. Pria itu dikenal dengan panggilan Medi Peot.
Tentu saja bagi Medi Peot, Pilkada sudah selesai. Mayoritas masyarakat sudah menentukan pilihan. Itu harus diakui. Perbedaan pilihan bukanlah luka dalam demokrasi. Itu hak politik yang patut dijunjung tinggi. Sebab itulah pria yang sering disapa Medi Peot memilih sikap gentleman untuk datang mengakui keunggulan Paket ASET, sembari jujur mengakui ia tidak memilih ASET saat Pilkada 2018.
Lalu apa yang terjadi saat itu? Semua yang hadir memberikan applause dan mengapresiasi sikap politik Medi Peot. Lagu “masih adakah maaf” yang dinyanyikan sendiri sore itu menjadi suara politik yang membebaskan bagi Medi Peot itu sendiri. Secara politik, ia telah terbebaskan dari keterbelahan politik “kami/kamu”. Pasca Pilkada, semua telah menjadi “kita”.
Seperti itulah rekonsiliasi sejati. Rekonsiliasi mensyaratkan rekognisi: rekonsiliasi terjadi apabila ada rekognisi atau pengakuan politik. Dalam kamus Merriam Webster, recognition means the act of accepting someone or something as having legal or official authority. Dalam konteks Pilkada, rekognisi itu mestinya datang dari pihak yang kalah dalam kompetisi politik.
Rekognisi politik bermakna “maaf” dan damai. Dengan rekognisi, dua pihak akan saling memaafkan dan melebur dalam suasana politik damai. Pembangunan akan berjalan baik dan adil apabila didukung oleh kondisi politik pasca Pilkada yang damai.
Dari sisi pemenangan politik Pilkada, rekognisi menjadi amunisi psikologis yang baik untuk proses politik kebijakan di lima tahun mendatang. Tanpa rekognisi, kebijakan politik dalam pemerintahan akan mempertimbangkan “kontribusi politik” Pilkada. Itulah politik. Rasionalitas politik selalu linear dengan kalkulasi perolehan suara.
Namun di sisi lain, butuh sikap rendah hati dan keberanian untuk mengakui keunggulan kandidat lain. “A brave man acknowledges the streght of others”, kata penulis VeronicaRoth. Keberanian itu menjadi kualitas penting bagi seorang politisi yang otentik. Sebab, hal itu bertujuan untuk melerai keterbelahan sosial atau konflik horizontal di masyarakat. Meskipun dalam realitas politik, masyarakat lebih cepat berdamai tinimbang elite politiknya.
Lantas, jika ada pahlawan kesiangan yang mengaku dirinya “bapak” yang mengemis rekonsiliasi, maka sejatinya dia-lah biang kerok cekcok dan seteru politik. Seperti syair lagu lawas, “kau yang mulai, kau yang mengakhiri”. Pahlawan kesiangan seperti ini adalah “sengkuni” yang mencari keuntungan politik di air keruh demi diagram politik kekuasaannya di masa datang. Pertanyaannya, dari mana rekonsiliasi itu datang tanpa ada rekognisi?
Jika masih ada “misrecognition”, maka masih ada “opresi” dan “oposisi”. Meskipun dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, misrecognition mengawetkan posisi biner kawan-lawan. Sebetulnya pemerintahan pasca Pilkada tetap saja berjalan baik meskipun tetap ada misrecognition. Hanya saja, diseminasi kebijakan pembangunan akan mengikuti “posisi biner” sang elit politik tersebut. Jelas, misrecognition juga berpengaruh pada masa depan karir politik elite dalam lingkaran “posisi biner” tersebut. Dasarnya, “sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang”.
Tentu publik mengharapkan adanya rekonsiliasi, meskipun elite politiknya enggan memilih rekognisi pasca Pilkada. Itu bisa saja terjadi. Sebab, pemimpin itu milik rakyat, bukan milik elite politik. Pemimpin terpilih pasti memikirkan harapan dan kehendak masyarakatnya. Hanya saja, dari berbagai persoalan pasca Pilkada, tagline klasik selalu muncul: forgive but not forget! Bahwa, selalu ada maaf bagi lawan-lawan politik, tetapi memori Pilkada selalu terbawa.
Sekarang, mana yang lebih baik, recognition atau misrecogniton? Politisi yang bijak akan memilih dengan rendah hati mengakui kemenangan politik kandidat lain. Politisi yang berambisi dan haus kekuasaan tidak akan pernah mengakui kemenangan kandidat lain.
Bagi pemimpin terpilih, teruslah berkarya demi kebaikan bersama. Nasib rakyat lebih penting tinimbang rekognisi elite politik. “Don’t worry when you are not recognized, but strive to be worthy of recognition”, kata Abraham Lincoln. Selanjutnya, rekonsiliasi-lah dengan harapan mayoritas masyarakat.
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)