Oleh Alfred Tuname
Pasca pemungutuan suara (27 Juni 2018) Pilkada Manggarai Timur (Matim), tingkat partisipasi pemilih mencapai 77,26% (voxntt.com, 29/6/2018). Angka tersebut lebih besar dari tingkat partisipasi Pemilu di dua periode sebelumnya, yakni hanya 70% (mediaindonesia.com, 29/01/2018).
Memang prosentasi itu belum cukup memuaskan sebab tingkat partisipasi politik menentukan kualitas demokrasi Matim. Semua sudah berusaha, tetapi demikianlah hasilnya. Jelasnya, masih ada ada persoalan partisipasi politik di Matim.
Akan tetapi, persoalan itu sangatlah tidak fair dan terkesan dipasakan jika hanya menyalahkan pihak Penyelenggara Pemilu (KPU Manggarai Timur). Parahnya lagi apabila persoalan itu menjadi bagian dari โdelik aduanโ yang dilayangkan ke Panwaslu Manggarai Timur.
Persoalan rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada Matim 2018 adalah persoalan semua elemen masyarakat, pemerintah dan partai politik. Penyelenggara Pemilu tidak bisa dipaksakan menanggung persoalan rendahnya tingkat partisipasi politik.
Analoginya, KPU dan Panwas adalah lembaga โFIFAโ dalam pertandingan Piala Dunia Rusia 2018. Urusan penonton dan fans datang nonton pertadingan sepak bola di tribun stadion adalah urusan pemerintah, masyarakat pencinta bola dan dunia usaha. Sangatlah tidak berdasar apabila persoalan ketidakhadiran penonton di stadiun dituduh menjadi tanggung jawab FIFA. Tuduhan itu mirip seperti ungkapan Belanda, โals een kip zonder kopโ.
โIsi kepalaโ KPU hanya berurusan dengan memastikan administrasi, manajemen, pendaftaran kandidat, pemungutan suara, rekapitulasi suara dan penetapan pemenangan Pemilu. Begitu juga dengan Panswaslu, mereka hanya berurusan dengan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum โlex specialisโ UU Pemilu. Dalam menyelesaikan persoalan Pidana Pemilu, Panwaslu melibatkan unsur-unsur Kepolisian dan Kejaksaan (Sentragakumdu). Dalam proses pengawasan itu, Panwaslu mengajak partisipasi masyarakat untuk bersama Panwaslu mensukseskan Pemilihan Bupati da Wakil Bupati.
Oleh sebab itu, serangan politik ala โtotal footballโ terhadap Penyelenggara Pemilu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab apabila persoalannya berkaitan dengan rendahnya partisipasi pemilih. Kualitas demokrasi memang ditentukan oleh tingkat partisipasi pemilih. Tetapi Penyelenggara Pemilu sudah โterperangkapโ dalam demokrasi administratif. Ketat dan tertib administrasi Pilkada menjadi bagian dari usaha mewujudkan Pilkada yang bersih dan jujur.
Dalam Pilkada, para kandidat seharusnya bertangung jawab untuk mengajak masyarakat ikut dalam pemilihan. Waktu empat lebih kampanye merupakan waktu yang cukup lama untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat (civic education). Tetapi jika isi kampanye hanya seputar pembicaraan tuduhan dan fitna kepada kandidat lain, maka antusiasme masyarakat untuk memilih juga akan rendah.
Apatisme politik masyarakat juga muncul manakala media informasi dan media sosial (medsos) digunakan sebagai alat โmemitosโ kandidat dan memfitna kandidat lain. โMedia kuningโ pun bertebaran melayangkan pencitraan kandidat dan menyebar hoax kandidat lain. Prinsipnya, โmaju tak gentar bela yang bayarโ. ย Begitu pun medsos, isinya hanya seputar hoax dan fitnah. Di medsos, masyarakat kehilangan nalar politik yang cerdas, selain berisi fanatisme akut dan โbonekโ politik.
Di sisi lain, ada problem topografi dan demografi Matim yang kompleks. Perkampungan yang berada di perbukitan dan lembah membuat masyarakat kurang berminat menuju TPS. Efek musim panen dan petik hasil perkebunan juga membuat masyarakat kurang antusias berpartisipasi dalam Pilkada.
Sementara itu, para pemilih pemula lebih berkonsentrasi untuk โpesta sekolahโ dan mencari sekolah-sekolah atau tempat kuliah. Sehingga, โmigrasiโ pemilih juga ikut berdampak pada partisipasi pemilih. Bukan cuma itu, besarnya migrasi penduduk yang mencari pekerjaan di daerah lain juga menjadi alasan rendahnya tingkat partisipasi pemilih.
Ada juga persoalan kartu identitas. Usaha pemerintah untuk melayani pemilih yang tidak memiliki KTP el juga belum selesai. Masih banyak penduduk yang belum memiliki akses mendapatkan KTP el. Meskipun Suket telah diterbit untuk pemilih yang belum memiliki KTP el, tetap saja masih ada masyarakat yang enggan mengurus kartu identitas tersebut. Akibatnya, akses terhadap hak memilih pun terbatasi.
Selebihnya, berpartisipasi dalam Pemilu merupakan hak setiap orang, bukan kewajiban. Jika seseorang tidak menggunakan hak itu, maka tak seorang pun bisa melarang. Protes terhadap hak politik orang lain merupakan bagian dari irasionalitas politik. Boleh jadi, adalah suatu yang konyol dan memalukan jika ada kandidat yang memprotes hak politik orang lain.
Dalam perspetik HAM, pemilu itu pelaksanaan dasar hak politik rakyat, yakni menentukan arah dan masa depan kehidupan bersama (bdk. Abdul Hakim G.N, 1996). Tetapi, sebagai hak, setiap orang berhak menggunakannya atau tidak. Setiap orang merdeka menggunakan hak politik itu. Itu merupakan bagian dari ekspresi politik setiap orang.
Yang terbaik adalah berpikir secara bersama dan bekerja sama untuk merumuskan upaya agar partisipasi politik lebih dari 70% di masa mendatang. Pasca Pilkada, semua perlu berpikir untuk demokrasi Matim yang lebih baik. Itu lebih baik dari pada mencari kesalahan dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang (lembaga) lain. dengan begitu, tidak terjadi apa yang disebut dengan โthe only thing we learn from new election is we learned nothing from the oldโ.
Mari belajar dari Joseph Stalin. โThe people who cast the votes decide nothing. The people who count the votes decide every thingโ. Mereka yang sudah menggunakan hak politik sudah memilih. Mereka telah terlibat dalam menentukan masa depan ย Matim. Ikutilah kehendak dan pilihan mayoritas pemilih itu.
Sekali lagi, the people who cast the votes decide nothing!!
Alfred Tuname
Penulis Buku โle politiqueโ (2018)