Oleh Alfred Tuname
Kampanye itu latihan berbudaya. Berkampanye mesti mencerminkan “cipta, rasa dan karya” yang berkiblat pada penghargaan terhadap rasa kemanusiaan. Dengan berbudaya, keadaban politik semakin lebih baik.
Orasi politik adalah selain salah satu cara berkampanye, juga sebagai bentuk budaya (sastra) lisan. Karenanya, sering dijumpai ungkapan metaforis yang disampaikan oleh orator. Dengan ungkapan metaforis itu, pesan politik lebih mudah dimengerti dan masyarakat lebih mudah diajak berpikir lebih dalam. Hal itu sangat penting untuk menghindari kalimat-kalimat langsung yang kadang berisi kekerasan verbal (finah, caci-maki, kemarahan, ancaman, dll).
Dalam berorasi, seorang seorang mesti memilih diksi benar dan kalimat yang logis dan santun. Tujuannya, demi meraih simpati, bukan meluaskan rasa antipati publik. Orasi kampanye akan logis apabila sang orator menguasai materi; orasi kampanye akan baik apabila sang orator tidak lahir generasi sakit politik. Variabel lain yang merusak kesantunan berkampanye politik adalah sang orator gandrung minum “miras” beralkohol (tuak, sopi, bir, dll).
Berkampanye tidak berhenti pada “orasi”. Berkampanye juga berarti menggunakan segala bentuk kearifan dan kreativitas manusia untuk mempengaruhi rasa batin manusia yang lain. Berhadapan dengan manusia lain seharusnya menggunakan cara-cara yang beradab dan berbudaya. Karenanya, kampanye politik harus didekatkan dengan nilai dan sopan-santun demi meraih simpati masyarakat .
Kampanye yang berhasil adalah kampanye yang mampu menyentuh rasa batin dan nurani masyarakat. Air mata haru dan gelak tawa adalah tanda sentuhan kampanye itu berhasil. Yang dibawa pulang adalah rasa kebahagian dan memori kebersamaan politik.
Dalam kebersamaan politik masyarakat cenderung mengikuti pertimbangan emosional dan rasional. Dua sisi emosional dan rasional adalah nurani publik dalam menentukan pilihan publik. Ketika rasio tak mampu memikul muatan isi kampanye, rasa dan emosi bisa menjadi perangkat lunak untuk menggotong semua niat politik pilihanan. Irasional memang, tetapi itulah nurani politik publik.
Nurani publik punya “logika” politiknya sendiri sehingga politik pun tak mampu memahaminya. Dalam konteks itulah diperlukan budaya. Kehadiran budaya dimaksudkan sebagai cara “penghalusan” nurani politik publik tersebut. Melalui budaya, masyarakat mampu menterjemahkan keingingan dan pilihan politiknya, begitu pun calon pemimpin mampu menyimpulkan aspirasi masyarakat. Itulah nilai kearifan dalam budaya.
Bagi orang Manggarai, kearifan budaya tercermin dalam setiap laku, sikap, simbol, nyanyian, goet, tarian, makanan dan doa. Semua itu perlu dirangkul kembali demi politik Pilkada yang berbudaya. Dalilnya, kearifan budaya akan menuntun perilaku politik yang bernuansa kekeluargaan, santun dan menyenangkan.
Oleh sebab itu, tak jarang dijumpai anasir-anasir budaya dalam setiap aktivitas kampanye politik lokal. Pada Pilkada Manggarai Timur 2018, semua atribut budaya lokal nyaris terus mewarnai kampanye politik, mulai dari awal hingga akhir kampanye. Kepok kapu, kepok sundung, tarian penyambutan, danding, mbata, selek, wuat, terus mewarnai kampanye politik. Ungkapan-ungkapan metaforis (goet) yang berisi doa dan harapan terus diucapkan. Semua itu merupakan cara yang politis yang bisa digunakan oleh masyarakat yang berbudaya.
Dengan cara yang penuh makna dan berbudaya tersebut, kampanye tak lagi monologis, melainkan dialogis. Sebab, masyarakat tidak pasif (duduk- dengar-pulang), tetapi ikut ambil bagian dalam kampanye sekaligus menitipkan doa dan harapan kepada calon pemimpin. Melalui koridor kekayaan budaya lokal, kepentingan bersama diungkapkan. Dan, hanya pemimpin yang berbudaya-lah yang mampu menangkap pesan di balik tiap “atraksi yang politis” masyarakat tersebut.
Dengan demikian, kampanye politik tidak serta merta perayaan atas kata-kata (orasi), tetapi penggunaan atas seluruh “bahasa” yang mengekspresikan kepentingan bersama. Memang, “kata-kata punya sejarah” (mengutip Goenawan Muhammad), tetapi kata-kata politik cenderung mengalami “erosi makna” (istilah Mochtar Lubis) di musim Pilkada. Oleh karena itu, pelibatan simbol dan ekspresi budaya (lokal) menjadi “bahasa” yang adab untuk menuntun politik yang beretika dan bermoral.
Yang jelas, politik Pilkada bukan sekadar “lomba” visi-misi (yang secara politik akan dibahas kembali bersama Lembaga Legislatif), melainkan urusan mendapatkan kepercayaan rakyat dengan cara melibatkan dan mendengarkan nurani publik. Dalam urusan dengan itu, kampanye politik tidak mesti berhenti pada sisi rasionalitas politik (visi-misi, program yang cenderung sama), malainkan juga perlu menyentuh sisi emosional masyarakat (budaya). Pemimpin yang mampu menempu jalur rasional dan emosional tersebut akan mampu memenangi nurani politik masyarakat.
Penulis buku “Against Trump” (2016), Rich Lowry, pernah menulis, “almost all political campaigns involve falsity and playacting”. Nah, untuk menghindari “falsity” dan “playacting”, anasir-anasir budaya lokal perlu disertakan dalam kampanye politik. Sebab, dalam budaya lokal ada nilai yang menjadi rambu untuk keadaban berpolitik.
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)