Oleh Alfred Tuname
Istilah “leko-leles” menjadi causa selebre publik Manggarai Timur (Matim), khusus netizen medsos, seletah calon Bupati Agas Andreas menyebut frasa itu dalam sebuah kampanye politik Pilkada Matim 2018. Sebutan istilah “leko leles” sontak membuat semua tim sukses, “cheerleaders” politik dan tokoh (bukan budayawan) lawan politik merasa kesemutan dan kebakaran jenggot. Semuanya mengambil kesempatan untuk berkomentar.
Yang dikatakan oleh calon bupati Agas Andreas, pada kesempatan kampanye di Kelurahan Rongga Koe, Kota Komba, adalah “kali ini, ulu eta mai (calon bupatinya dari Poco Ranaka) dan wakilnya se mai (dari) Kota Komba, ini baru “leko leles” namanya karena sudah diresmikan melalui “dara kaba” (dara [sic] kerbau) di gendang Mokel” (florespost.co, 21/3/2018).
Tak ada yang salah dengan orasi tersebut. Agas Andreas pun tidak salah tempat untuk mengatakan “leko leles” kepada warga Rongga Koe, Kota Komba. Sebab, mereka adalah para pemilih setia “Yoga” (Yosep Tote dan Agas Andreas) pada Pilkada Matim di periode-periode sebelumnya. Mereka pun tentu paham, bahwa setelah “Yoga” berkuasa 2 periode, sudah saatnya Agas Andreas mencalonkan diri sebagai bupati Matim. Syaratnya, putra terbaik orang Kota Komba menjadi calon wakil bupati mendampingi Agas Andreas.
Calon bupati Agas Andreas tentu saja tidak akan mengatakan “leko leles” di luar wilayah Kota Komba. Sebab, di luar wilayah Kota Komba, penyataan itu tidak akan berarti apa-apa, tidak sitz im leben atau hanya sekadar empty gesture (istilah filsuf Slavoj Zizek).
Selain itu, hanya masyarkat Kota Komba yang bisa memahami budaya “leko leles” dalam kaitannnya dengan kontestasi politik Matim. Hal itu bisa dimengerti kalau saja publik memahami “etika politik” mayoritas masyarakat Kota Komba. Bahwa, ada ungkapan balas budi politik kepada Agas Andreas yang setia menjadi wakil bupati mendampingi bupati Yosep Tote, putra masyarakat Kota Komba selama 10 tahun.
Ungkapan etik balas budi politik masyarakat Kota Komba itu dinyatakan dalam ekspresi spontan dalam ritual paki kaba syukuran atas keberhasilan paket Yoga Jilid II dalam Pilkada Matim 2013 di gendang Mokel. Pada kesempatan itu, para tokoh adat Kota Komba berinisiatif menerwang politik Matim pasca Yoga Jilid II. Dengan ritual kepok tuak, tua gendang Ngusu (yang sulung dari pat wa’u Mokel-Ngusu, Deru, Mukun, Manus) bertanya kepada bupati terpilih Yosep Tote, bagaimana Matim ke depan pasca Yoga Jilid II. Jawaban bupati Yosep Tote, pasca Yoga, Agas Andreas didukunng jadi bupati dengan syarat calon wakil bupatinya berasal dari Kota Komba (bdk. “Sejarah Paket ASET dalam Pilkada Matim 2018” dalam www.floresindependen.com, 5/3/2018).
Kisah momental tersebut terus terpatri dibenak para tetua adat pat wa’u Mokel dan Rembong, lantas menjadi semacam “sumpah” yang terwariskan. Atas “sumpah” itu, sebagai pribadi meneladani budaya dan adat Manggarai, Agas Andreas menepati “sumpah” yang pernah terjadi antara bupati Yosep Tote dan tua-tua adat Kota Komba. Hal itu ditandai dengan munculnya figur Jaghur Stefanus sebagai pilihan tua-tua adat Kota Komba untuk menjadi calon wakil bupati Matim. Agas Andreas menerima dengan penuh optimis sehingga terbentuklah Paket ASET.
Atas peristiwa itulah muncul frasa “leko leles”. Leko leles merupakan suatu istilah yang lahir dari rahim budaya Manggarai yang agraris. Adalah sebuah kegagalan berpikir manakala leko leles ditafsir sebagai arisan yang kental dengan kaidah distribusi ekonomistik. Sejatinya, terjemahan atas istilah leko leles adalah gotong-royong yang mana masyarakat petani bahu membahu tanpa pamrih bergantian-semacam “berbalas pantun” dalam berkebun (dalam proses menanam hingga proses panen).
Dalam konteks politik konstestasi Matim 2018, makna “leko leles” didekatkan dengan pertukaran komposisi status bupati dan wakil bupati. Selama kepemimpinan “Yoga”, bupati Yosep Tote berasal dari Kota Komba dan wakil bupati Agas Andreas Berasal dari Poco Ranaka Raya. Kini dalam Pilkada Matim 2018, calon bupati Agas Andreas dan calon wakil bupati Jaghur Stefanus berasal dari Kota Komba. Bagi mayoritas masyarakat Kota Komba, “leko leles” politik Matim itu demikian.
Secara politik, istilah “leko leles” memang membuat gentar lawan-lawan politik Paket ASET dalam Pilkada Matim 2018. Hal itu terbukti dari munculnya komentar-komentar lepas para tim sukses, “cheerleaders” politik, simpatisan, dll, baik yang berada di Matim maupun di luar Matim, baik yang bukan orang Kota Komba maupun orang Kota Komba sendiri. Mayoritas komentar tersebut berisi variasi dan deviasi interpretasi atas makna “leko leles” politik masyarakat Kota Komba. Pada komentar-komentar tersebut tersirat paranoia politis nan akut.
Komentar reaktif muncul dari Sale Alexius -seorang guru, yang bersama istrinya, ML (kontraktor), pernah terlibat kasus dengan Dinas PK Matim dalam pengerjaan proyek salah satu gedung SMA di Borong (floreseditorial.com, 11/8/2017), dan lantas (tiba-tiba) jadi tokoh masyarakat Kota Komba. Di media delegasi.com (media online yang sering mem-framing berita Paket Sardon [Fransiskus Sarong-Kasmir Don] setelah “rongkas” [bahasa Manggarai: pecah, hancur, bubar, dll] dari Paket Sarnas [Fransiskus Sarong-Yohanes Nahas] untuk Pilkada Matim 2018), Sale Alexius menyebut pernyataan Agas Andreas sangat tendesius dan tidak mendidik masyarakat dalam berdemokrasi (delegasi.com,23/3/2018).
Dari komentar Sale Alexius di atas, tampak jelas bahwa justru dialah yang tendensius. Kalau benar Sale Alexius adalah seorang genius loci atau tokoh masyarakat, ia seharusnya menjelaskan perihal “leko leles”, paling tidak mencari tahu ada apa dengan “leko leles” yang disebutkan oleh Agas Andreas. Dengan begitu, sebagai “tomas” alias tokoh masyarakat Masyarakat, Alexius Sale dapat memberi pemahaman secara mendalam kepada masyarakat terkait leko leles dalam konteks budaya dan interpretasi politiknya. Sebab, cerita “leko leles” itu terjadi di zona budaya Kota Komba. Itulah dasar logic status “tomas”.
Celakanya, Sale Alexius lebih bertendensi sebagai politisi atau tokoh politik. Sehingga, pernyataan Agas Andreas begitu menohok sekaligus membuat kenyamanan kepentingan politik Sale Alexius kian “rongkas”. Thus, pernyataan Agas Andreas memang harus “tendesius” sebaga ia sedang berkampanye politik untuk meraih simpati pemilih di Rongka Koe, Kota Komba. Bukankah saat itu adalah tahapan kampanye zona Kota Komba?
Lalu apa yang dimaksudkan Sale Alexius soal “tidak mendidik masyarakat dalam berdemokrasi”? Bukankah dengan menyebut “leko leles” berarti masyarakat sedang diajak berpolitik dengan mempertimbangkan khazanah-khazanah budaya milik Manggarai Timur? Bukankah berdemokrasi itu harus tetap berpijak pada nilai-nilai dan perangkat-perangkat budaya lokal?
Jika Sale Alexius mencoba menterjemahkan “leko Leles” di luar konteks budaya, lalu memaksaknya dengan istilah arisan atau doa Rosario, maka Sale Alexis sedang gagal paham atau ”out of the content”. Sebab, “sumpah” adat yang pernah terjadi di gendang Mokel itu tercipta oleh inisiatif para tetua adat di saat acara paki kaba syukuran Yoga Jilid II, bukan ritual yang digagas Agas Andreas untuk mengukuhkan dirinya pasca Yoga Jilid II. Semuanya, murni niat baik dan politik visioner para tetua adat Kota Komba saat itu. Jadi, tak ada politisisasi adat dalam konteks “leko leles” tersebut.
“Leko Leles” pun tak lantas menihilkan demokrasi politik elektoral. Tahapan-tahapan proses Pilkada Matim 2018 tetap diikuti secara konsisten oleh pasangan Agas Andreas dan Jaghur Stefanus. Turbulensi politis antara “leko leles” dan sistem politik Pilkada pun tidak terjadi. Turbulensi politik justru terjadi pada mereka gagap memaknai “leko leles” dan gugup membayangkan sumpah adat “leko leles” itu menjadi kenyataan.
Selebihnya, mari kita menghargai budaya orang lain dan orang lain yang ingin menggali nilai-nilai budaya untuk kehidupan politik berdemokrasi lebih baik. Budaya dan adat istiadat sudah ada sebelum negara ini terbentuk, dan tak ada salahnya bila kita mengangkat kembali kearifan budaya sebagai tuntunan kehidupan sosial dan politik yang lebih bermartabat.
Akhirnya, mutatis mutandis peringatan filsuf George Santayana, “mereka yang melupakan budaya dan adat-istiadatnya, kelak akan dihukum oleh budaya dan adat-istiadatnya sendiri”.
Alfred Tuname, Penulis Buku “le politique”