Oleh Alfred Tuname
Keputusan otoritatif Kadis Pendidikan dan Kebudayaan (PK) Manggarai Timur (Matim) terhadap non PNS membuat miris nasib pendidikan di Manggarai Timur. Tak tanggung-tanggung, ada 109 guru “Bosda” dieliminasi dan 24 guru THL di-down grade. Semua ini lambat laun berdampak pada buruknya kualitas pendidikan di Matim.
Bisa saja, pendidikan di Matim mendapat “rapor merah”. Takarannya, rendahnya penghargaan terhadap nasib dan kesejahteraan para guru. Ketika jaminan ekonomi para guru sangat rendah, konsentrasi guru dalam proses KBM (kegiatan belajar-mengangajar) akan terganggu. Apa daya, pengorbanan dan pengabdiannya tidak dihargai. Bukan oleh para murid atau masyarakat, tetapi justru tak dihargai oleh Kadis PK Matim itu sendiri.
Sedih memang. Imajinasi publik pun terarah pada nasib keluarga para guru yang dimarginalisasi oleh Kadis PK Matim. Apa yang akan mereka berikan kepada keluarga dan anak-anak? Gaji guru komite masih jauh dari layak. Tambahan insentif “Bosda” Matim seharusnya bisa mengurangi sedikit beban kehidupan keluarga para guru.
Mari kita buka Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005. Di situ dikatakan, setiap guru harus mendapatkan perlindungan atas hak dan kewajibannya. Dalam hal ini, jaminan terhadap hak para guru harus terpenuhi atas semua kewajiban yang sudah mereka lakukan. Setiap pekerja wajib mendapatkan upah yang layak. Ketika undang-undang sudah mengatur demikian, Permendiknas tidak lebih dari undang-undang. Permendiknas itu hanya berisi jabaran teknis-administratif. setiap hambatan teknis-administratif tidak berarti sama sekali menghilangkan hak para guru untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Sesuatu yang teknis seharusnya tidak boleh menghambat sesuatu yang esensial. Hak para guru merupakan sesuatu yang esensial sebab berkenaan dengan nasib dan hidup guru itu sendiri. Ketika negara sudah menerima seseorang berprofesi sebagai guru, negara wajib menjamin kelangsungan hidupnya. Menjamin hak-hak guru berarti menjamin kelangsungan proses pendidikan yang lebih baik.
Memang negara punya perangkat-perangkat aparat untuk mengatur distribusi keadilan atas hak setiap guru. Sejauh itu tidak mengangkangi undang-undang dan hak-hak guru, semua keputusan aparat birokrasi tentu baik. Toh, tujuannya demi peningkatan kualitas pendidikan.
Celakanya bila aparat pejabat birokrasi terjerumus pada usus et abusus (menggunakan dan menyalahgunakan) jabatan dan posisi demi kepentingan pribadi. Di sini, visi pendidikan tercampur-baur dengan air kotor kepentingan pribadi. Lantas, quo vadis pendidikan kita?
Mari kita masuk dalam politik pendidikan Matim. Pemda Matim sudah membangun sekolah di mana-mana. Dari 266 buah sekolah SD, MI 13 buah, dan SMP 94 buah sekolah pada tahun 2010, pada tahun 2017 Sekolah SD sudah berjumlah 329 buah, SDLB 1 buah, MI 14 buah, Dan SMP sudah berjumlah 141 bauh (BPS Manggarai Timur, 2017). Visinya adalah mendekatkan akses sekolah untuk para siswa. Tujuannya adalah mengurangi anak-anak putus sekolah. Hasilnya, pada tahun 2010 APM (angka partisipasi murni) anak SD sebesar 95,45 % dan SMP 51, 38 % menjadi 97,77 % bagi anak SD dan 67,93 % untuk anak SMP di tahun 2017. Sebuah prestasi pendidikan yang signifikan dan harus ditingkatkan.
Setelah kebijakan pendidikan dengan visi mendekatkan akses, Pemda Matim mulai dengan kebijakan meningkatkan kualitas sekolah (sarana-prasarana dan kualitas guru). Adanya guru-guru komite yang diberi insentif dana Bosda Pemda Matim bermuasal dari visi meningkatkan kualitas pendidikan.
Lantas, apa jadinya kualitas pendidikan Matim jika guru-guru “Bosda” dieliminasi dan guru THL di-down grade? Seharusnya, jaminan hak ekonomi guru tetap dipertahankan atau bahkan ditingkatkan (up grade). Para guru non PNS tersebut sudah lama mengabdi di dunia pendidikan. Kadis PK Matim tidak boleh berlaku tak adil terhadap perjuangan mereka yang merawat peradaban Matim.
Jika kita melihat pendidikan sebagai usaha merawat peradaban dan investasi manusia Matim yang lebih baik lagi, maka kebijakan pendidikan Matim harus dijalankan secara serius dan konsekuen, minus kepentingan pribadi pejabat pendidikannya. Politik pendidikan Matim tidak boleh terkontaminasi dengan pragmatisme kepentingan pribadi atau pun politik kontestasi. Tujuan pendidikan Matim yang berkualitas akan tercapai tergantung pada kemauan politik (political will) dan kemuliaan nurani para pemimpin, pejabat, dan masyarakat dalam mendukung dunia pendidikan di Matim.
Dengan begitu, tak akan ada lagi cerita buruk bagi anak di didik di Hari Pendidikan nanti; tak akan ada lagi cerita miris tentang nasib guru di Hari Guru tiba. Tak ada lagi kisah guru yang harus “gantung kapur” alias tak lagi mengajar karena tak ada jaminan atas nasibnya.
Satu kisah sedih datang dari Lodrianus Vinosa Ladu. Ia guru di SDI Golo Nderu, Compang Kantar, Kecamatan Rana Mese. Ia tak lagi mengajar sebab gajinya tak pernah lagi ia terima setelah Kadis PK Matim mengeliminasinya dari guru “Bosda”. Pengabdiannya sebagai guru tak diindahkan. Kesedihanlah yang sedang ia rasakan. Itu tampak dari eksresi semiotik yang tertangkap pada foto berita Loddrianus Vinosa Ladu dan dua orang anak kecil yang digendongnya (florespost.co, 23/3/2018). Berprofesi sebagai guru yang dia sebut sebagai vocatio (panggilan) harus dihilang akibat keputusan abal-abal pejabat pendidikan.
Juga seperti guru “Bosda” lainnya, dana insentif Bosda adalah harapan satu-satunya untuk menafkahi keluarga. Rp 700.000,- mungkin kecil bagi Kadis PK Matim. Tetapi itu sangat penting bagi para guru “Bosda” yang menerima per tiga bulan. Itu pun harus dengan antrian lama dan panjang di Bank BRI Unit dan Cabang Borong. Kesabaran guru non PNS di Matim terus diuji oleh keputusan yang tak terpuji.
Puji hanya ada bagi pemimpin atau pejabat yang mempertimbangkan rasa kemanusiaan dalam membuat keputusan. Dunia pendidikan adalah “dunia” yang menciptakan manusia yang beradab dan terpuji. Tetapi, hal itu harus diimbangi dengan jaminan keputusan pun kebijakan yang manusiawi.
Driyakara menulis, tujuan pendidikan adala untuk “pemanusiaan manusia” (Ferry T. Indratno, ed. 2015). Proses “pemanusiaan manusia” tak akan berjalan baik apabila ada pejabat pendidikan yang tidak bernurani manusiawi. Oleh sebab itu, para guru bersatulah. Rayakan kemanusiaanmu dengan “menendang” manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan. Mengutip aktivis humanis Wiji Tukul, hanya satu kata: Lawan!
Selebihnya, ajarilah kami bersabar. Sebab itulah keutamaanmu, guru.
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique”