Oleh Alfred Tuname
Pola-pola pembangunan selalu lahir dari persilangan kepentingan politik. Politik itu mengikuti arah kecenderungan angin mayoritas masyarakat. Sementara, proses pembangunan itu mengikuti arah arus dan gelombang politik. Semua itu bermuara pada pantai kebaikan bersama (bonum commune).
Idealnya demikian. Bahwa apa pun keputusan, pembangunan harus dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat nyaris tak pernah peduli pun mau tahu perihal berbagai persilangan kepentingan politik. Mereka hanya tahu, akses infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dapat dinikmati.
Sebab itulah protes dan amok politis seringkali muncul manakala masyarakat masih dalam keadaan sengsara dan tak berdaya. Kemiskinan dan keterbatasan akses pembangunan selalu dimengerti kealpaan pemerintah dan hilang keberpihakan politik.
Pemerintah selalu menjadi sasaran tembak setiap aksi “public disobedience”. Mungkin saja, sebab yang tampak punya “otoritas” pembangunan adalah pemerintah (eksektif). Yang “tersingkir” dari benak publik adalah aspek politik, yaitu peran lembaga legislatif dalam proses pembangunan.
Peran lembaga legislatif sangat sentral dalam sebuah proses pembangunan. Lembaga legislatif adalah penentu lajur pembangunan dan pola sebaran pembangunan di daerah. Dengan fungsi pengawasan (controling)dan anggaran (budgeting), para anggota dewan memberikan pertimbangan, putusan dan menetapkan “distribusi” dan destinasi pembangunan. Semuanya itu dilakukan dengan asas kompesasi dan “balas budi” politik masyarakat (konstituen).
Melalui para anggota dewan-lah perjuangan aspirasi masyarakat dititipan. Dari masing-masing daerah pemilihan (Dapil), terdapat politisi utusan (DPRD). Mereka dipilih untuk memikirkan kesejahteraan masyarakat dengan memperjuangkan aspirasi masyarakat dari tiap Dapil.
Di sisi lain, dengan prinsip demokrasi delibertif dan sesuai dengan amanat UU Nomor 25 Tahun 2004, pemerintah daerah menjaring aspirasi masyarakat melalui Musrembang di semua tingkatan. Semua aspirasi itu dikumpulkan dan dibahas oleh pemerintah daerah melalui Musrembang RKPD (Rencana Kerja Pemeringah Daerah). Lahirlah Rancangan Akhir RKPD selama 1 (satu) tahun setelah melalui proses sinergisitas, harmonisasi dan sinkronisasi pembangunan. RKPD yang berisi Prioritas Pembangunan, Rencana Kerja Ekonomi Makro, Arah Kebijakan Keuangan Daerah dan Program SKPD/OPD/Dinas yang memuat kerangka regulasi dan anggaran, ditetapkan dengan peraturan bupati.
Berdasarkan RKPD tersebut, bupati menyusun Rancangan Kabijakan Umum APBD (RKUA). RKUA tersebut menjadi dasar penyusunan RAPBD (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). RKUA tersebut dibahas oleh Bupati dan DPRD sebagai pendahuluan RAPBD yang selanjutnya disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA). Berdasarkan KUA yang disepakati tersebut, pemerintah daerah bersama DPRD membahas rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) dan disepakati bersama menjadi prioritas dan plafon Anggaran (PPA).
KUA dan PPA disepakati antara pemerintah daerah dan DPRD yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan. Atas Nota Lesepakatan ini, bupati menerbitkan pedoman penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang menjadi pedoman bagi kelapa SKPD/OPD/Dinas. RKA-SKPD tersebut disusun, dibahas dan disepakati bersama kepala SKPD/OPD/Dinas dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sebagai dasar persiapan Rancangan Perda APBD (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk disampaikan kepada Bupati. Rancangan Perda APBD, setelah dilakukan sosialisasi ke publik, Rancangan Perda APBD diajukan dan dibahas bersama DPRD, dan ditetapkan melalui paripurna DPRD. Setelah APBD ditetapkan, pemerintah melalui masing-masing OPD/Dinas mengeksekusi setiap program pembagunan daerah melalui proses tender atau penunjukan langsung (PL).
Setiap pembahasan rencana program dan anggaran pembangunan daerah yang melibatkan DPRD baik di masing-masing Komisi DPRD maupun Badan Anggaran (Banggar) DPRD, terjadi proses politik. Fungsi budgeting lembaga legislatif tersebut mengikuti alur politik kepentingan. Pada proses ini, ada program yang dieliminasi atau disetujui; ada mata anggaran yang dipangkas atau ditambahkan. Faktor penyebabnya selalu politis. Faktor yang paling menentukan adalah hasil politik Pilkada dan Pileg tahun sebelumnya. Faktor sekundernya adalah komposisi keterwakilan (representasi) dan absensi. Tesis politiknya, “mayoritas menjadi prioritas”.
Dengan demikian, proses pembangunan tidak lepas dari proses politik dengan para politisi DPRD sebagai “author intellectual” ataupun “material author” politiknya. Dalam proses itu, pemerintah daerah (eksekutif) tidak bisa dijadikan obyek utama semua umpatan dan muntahan kritik dan protes publik. Kemarahan tersebut akan bernilai “yang politis” (le politique bukan la politique) jika tidak “dipolitisi” (untuk Pilkada berikut); juga mengkritik kiprah anggota DPRD dari Dapil masing-masing; dan “napak tilas” kiblat politik Pilkada dan Pileg sebelumnya. Semua itu bertujuan agar tidak terjebak dalam stigma “buruk rupa cermin dibelah”.
Kolam Infrastrukur Rana Mese
Berita MetroTv (metrotvnews.com, 2/3/2018) yang berisi feature buruknya infrastruktur jalan di Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), menjadi viral di kalangan pengguna medsos. Di balik viral, ada diskusi “hyperdemocracy” atau debat dunia maya (di medsos)yang berisi empati, protes dan amok warga net (netizen) Matim, baik yang ber-KTP Matim maupun warga “diaspora”. Netizen melakukan “tuduhan politis” bahwa pemerintah tidak berpihak pada pembangunan infrastruktur di Kecamatan Rana Mese, Matim.
Namun, setiap tuduhan politis tersebut perlu dibedah dengan pisau memori politik sehingga setiap irisannya menghasilkan resultante kejujuran politik pula. Jika memori politik itu dirogoh lebih dalam, maka Pilkada 2013 menjadi dasar “ekuilibrium” politik pembangunan untuk wilayah Rana Mese. Mayoritas pemilih Rana Mese tidak mendukung Paket Yoga Jilid II pada Pilkada 2013 tersebut.
Logika politiknya, ingatan politik kebijakan pembangunan pemerintah Yoga II pun tidak diarahkan sepenuhnya untuk Rana Mese. Tentu ada rembesan aliran air pembangunan untuk wilayah Rana Mese, tetapi pilihannya jatuh pada beberapa desa yang pernah memenangkan Paket Yoga pada Pilkada. Memang pasca Pilkada, semua jadi satu dalam semangat rekonsiliasi untuk Matim yang lebih baik. Tetapi, semangat rekonsiliasi itu tetap ditakar dari rasio piramida politik pilihan.
Sementara itu, anggota DPRD Matim utusan masyarakat Rana Mese (representasi suara terbanyak) tampaknya tidak bersuara dan mati gaya dalam memperjuangan pembangunan di wilayah Rana Mese. Ada 7 (tujuh) anggota dewan yang terpilih dari Dapil Borong-Rana Mese pada Pileg 2014. Perjuangan politisi DPRD utusan Borong (representasi suara terbanyak) tampak lebih berhasil memperjuangkan pembangunan untuk aspirasi konstituennya (Jembatan Wae Bobo jadi 5 buah, peningkatan jalan, sekolah, puskesmas, air minum, PLTMH, dll). Tentu karena mereka fokus berjuang untuk masyarakat Borong dengan getol berargumentasi, disiplin mengikuti sidang Komisi, Banggar dan paripurna, dan tidak tidur dengkur saat sidang. Dalam politik representatif, tugas imperatif politisi adalah mempertahankan kepercayaan pemilihnya (konstituen).
Berbeda dengan politisi DPRD Matim lainnya, politisi utusan masyarakat Rana Mese juga tampaknya kurang akrab secara politik atau mengambil posisi “oposisi” dengan pemerintah Matim. Akibatnya, mungkin saja program prioritas pembangunan daerah yang dibahas oleh pemerintah daerah selalu “alpa” memasukan wilayah Ranamese sebagai destinasi program. Di sini, sesuatu yang politis memang bikin miris.
Lantas, apakah masyarakat Rana Mese harus terus miris dan “gegana” (gelisah, galau, merana) terhadap keadaan dan terus menjadi menjadi kolam kecil di antara danau politik pembangunan Matim? Richard Wagner dalam Opera Parsifal pernah menulis, “die Wunde schliesst der Speer nur, der sich schlug”-luka hanya bisa sembuh oleh lembing yang menusuknya. Artinya, hanya dengan politik jualah masyarakat Rana Mese mendapatkan berkah politik (pembangunan).
Masyarakat Rana Mese perlu membuka “tempurung” politik yang dipikul selama ini. Masyarakat Rana Mese perlu buka diri secara politik, biar tak salah dan kabur (myopia) dalam politik pilihan. Pilkada memang suatu oportunitas (kesempatan) untuk berubah, tetapi pilihan tidak boleh jatuh kepada pemimpin yang oportunis (:rajin pencitraan, politisasi LSM, money politcs, kampanye negatif dan provokatif, dll).
Pilihan politik masyarakat perlu mempertimbangkan aspek integritas, kapasitas, kompetensi dan track record. Misalnya saja, jika dipercaya untuk mengurus Dapil kecil saja tidak becus, apalagi harus menghadapi skema urusan “Dapil” pemerintahan yang lebih besar. Selain itu, pilihan politik mestinya diikuti dengan kalkulasi politik yang terbuka dan rasional, biar tidak terhipnotis dengan bayangan sendiri atau narsisme politik masa lalu.
Selebihnya, masyarakat Rana Mese perlu mengevaluasi kembali kipran dan peran para anggota dewannya di DPRD Matim. Evaluasi politik ini sangat penting untuk ajang Pileg di masa mendatang. Bahwa semua protes publik tidak bisa mengubah keadaan apabila politisi utusan diam dan sibuk dengan urusan privat. Tujuan politiknya sangat sederhana, yakni agat tidak seperti “keledai yang selalu jatuh pada lubang yang sama”.
Akhirnya, jika ingin sebuah perubahan, berubahlah dari dan dalam politik. Setiap tindakan politis selalu berisiko politis: maju atau stagnan dalam pembangunan yang akan datang. Pragmatisnya, jangan tanyakan apa yang dilakukan pemerintah untuk Anda, tanyakan siapa yang Anda pilih dalam politik.
“Sambutlah angin politik gunung, maka akan terjadi badai perubahan di permukaan danau!”
Alfred Tuname
Penulis dan Esais