JAKARTA, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ungkap transaksi keuangan dari 4 bakal calon bupati incumbent di Flores-NTT. Empat balon itu yakni ; Agas Andreas, wakil bupati Manggarai Timur, Elias Djo, bupati Nagekeo, Marselinus Y.W. Petu, bupati Ende dan Yoseph Ansar Rera, bupati Sikka. Sedangkan satu diantaranya Marselis Sarimin Karrong adalah anggota Polri aktif.
“KPK telah mengeluarkan himbauan kepada masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan dugaan terjadinya politik uang, ketidakjujuran dalam mengisi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Juga rekam jejak kandidat dalam Pilkada NTT,” ujar Koordinator TPDI Petrus Selestinus kepada wartawan melalui siaran pers Kamis, 25 Januari 2018.
Petrus menegaskan, ada dua substansi pesan KPK dalam himbauannya yaitu awasi dan laporkan praktek politik uang dan pantau rekam jejak korupsi incumbent pada pilkada 2018.
Lima bakal tersebut kata Petrus memiliki posisi strategis dalam sistem pemerintahan RI. Untuk itu, rentan melakukan abuse of power.
“Mengapa 4 balon bupati di Flores, NTT, harus diawasi, dipantau dan hasil pantauannya dilaporkan ke KPK, pertama, karena KPK memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam melahirkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,” katanya.
Lebih lanjut kata dia, KPK tidak memberlakukan larangan untuk proses hukum para balon incumbent, apabila terlibat dalam tindak pidana korupsi.
“KPK juga sudah memiliki catatan tentang rekam jejak para pejabat daerah termasuk soal LHKPN. Sehingga untuk menguji rekam jejak dan integritas moral para balon dapat dilihat dari kejujurannya ketika mengisi LHKPN. Dan apakah di dalam rekening bank milik pribadi dan keluarganya terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan atau tidak,” tuturnya lagi.
Pasalnya ujar Petrus, untuk mendapatkan dukungan politik dari parpol, balon dikenakan beban atas nama sumbangan sesuai jumlah kursi DPRD yang dimiliki parpol.
Menurut Advokat Peradi itu, sumbangan dari setiap balon kepada parpol sungguh memberatkan sebagian balon, sebab total angka sumbangan yang dijadikan patokan disesuaikan dengan jumlah kursi yang dimiliki oleh setiap parpol di DPRD.
Oleh karenanya, kata Petrus aktivitas itu harus dipantau sebab ada indikasi balon tertentu yang berusaha memborong semua kursi di DPRD milik parpol.
“Pertanyaannya adalah dari mana balon memperoleh uang miliaran rupiah untuk membeli kursi-kursi DPRD milik parpol, apakah uang itu milik pribadi atau sumbangan pihak ketiga,” kritiknya.
Jika diambil dari dana milik pribadi, maka apakah terdapat perubahan jumlah uang dalam rekening tabungan balon bersangkutan terkait dengan sumbangan yang diberikan kepada parpol. Ia pun mempertanyakan, apakah perubahan itu terungkap pula dalam LHKPN.
Petrus menyebutkan ada 5 balon incumbent di Flores telah melaporkan kekayaan dalam LHKPN kepada KPK. LHKPN kelima balon itu, empat diantaranya incumbent Agas Andreas, wakil bupati Manggarai Timur, Elias Jo, bupati Nagekeo, Marselinus Y.W. Petu, bupati Ende dan Yoseph Ansar Rera, bupati Sikka dan seorang lagi dari anggota Polri aktif, Marselis Sarimin Karrong, yang juga mantan Kapolres Manggarai.
“Masyarakat dan KPK sangat berkepentingan untuk mengamati 5 bakal calon bupati di NTT dapil Flores, terutama menyangkut rekam jejak, kekayaan dalam LHKPN dan perilakunya dalam menghadapi pilkada 2018,” tegas pria kelahiran Maumere itu.
Ia menjelaskan, persoalan sumber dana 5 balon tersebut sangat mudah dilacak dan diperoleh jawabannya untuk mengukur integritas moral dan kejujuran para balon. Jika balon menyatakan dana itu milik pribadi, maka harus dijelaskan sumber dananya. Bagaimana proses pencairannya menjadi dana tunai saat hendak menyumbang ke parpol.
“Salah satu parameter untuk uji kejujuran balon adalah menghitung jumlah kekayaan dalam LHKPN apakah telah diisi dengan jujur, apakah telah terjadi pencucian uang dan apakah terdapat perubahan jumlah uang di dalam rekening balon atau istri dan anaknya (bertambah atau berkurang) terkait proses pencalonannya,” urai Petrus.
Jika ternyata balon sudah membelanjakan uangnya begitu besar jumlahnya hingga miliaran rupiah, sementara di dalam rekening pribadi dan keluarganya tidak terjadi perubahan jumlah karena penarikan dalam jumlah besar untuk pilkada, maka balon bersangkutan patut diduga telah mendapat dana dari pihak ketiga dalam hubungan sebagai KKN terkait jabatannya itu.
“Karena itu informasi dari masyarakat kepada KPK sangat penting. Masyrakat tidak perlu takut melapor karena tugas melapor dari masyarakat adalah tugas yang dilindungi oleh ketentuan pasal 41 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor,” jelasnya.
“Mengapa, harus LHKPN, karena LHKPN itu merupakan instrumen untuk menguji integritas moral, kejujuran dan kepatuhan yang bersangkutan dalam mengelolah keuangan daerah,” tandasnya.
Ia berharap, masyarakat dapat menyalurkan informasi berkaitan dengan kekayaan penyelenggara negara baik kepada advokat maupun wartawan di daerah masing-masing untuk kemudian menindaklanjutinya kepada KPK. (Nus/Nal/Beritaflores).