Ruteng, Berita Flores – Petrus Selestinus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengkritisi sikap politik Ray Fernandes. Ray dilaporkan sejumlah media massa telah hengkang dari partai besutan Megawati itu.
Ray kecewa dengan keputusan DPP PDIP yang menetapkan Marianus Sae sebagai Bacagub. Ray menilai Marianus adalah musuh politik PDIP. Pasalnya, Marianus Sae telah membantai calon dari PDIP pada pilkada Ngada sebelumnya. Atas dasar itu, Marianus yang bukan kader PDIP tidak layak diusung PDIP.
Namun sikap pengunduran diri Ray menuai beragam reaktif dari sejumlah pihak, termasuk Koordinator TPDI Petrus Selestinus.
Ia mengatakan penetapan Marianus merupakan sebuah keputusan strategis dan penting. Keputusan itu diambil berdasarkan pertimbangan hasil survei pada berapa forum rapat, termasuk rapat pelono DPP partai.
“Perlu diingat bahwa sebuah tradisi yang berlaku dan diterapkan terus menerus oleh DPP PDIP hingga saat ini adalah penggunaan “wewenang khusus” atau “hak prerogatif,” jelas Petrus kepada wartawan melalui siaran pers Jumat, 12 Desember 2017.
DPP PDIP kata dia dapat mengambil keputusan dalam keadaan tertentu, dimana ketua umum partai dapat kesampingkan semua keputusan forum rapat pengambilan keputusan partai untuk memutuskan hal-hal yang bersifat strategis.
“Demi keikutsertaan partai dalam pemilu sebagaimana diamanatkan oleh AD & ART partai,” tandasnya.
Keputusannya itu jelas dia sah dan mengikat termasuk mengikat Ray Fernandes selaku kader dan ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP TTU.
Sementara itu, tradisi menggunakan kewenangan khusus bagi ketua umum DPP PDIP telah dipahami dan dihafal betul oleh setiap kader partai PDIP.
Petrus berujar, secara historis dan yuridis, kewenangan khusus inilah yang membawa PDIP hingga sekarang berdiri kokoh dan selalu lolos dari upaya pihak lain termasuk kader partai yang mencoba memaksakan kehendak.
Keputusan itu menurut Petrus, bukanlah sesuatu hal yang baru, bukan pula sesuatu yang tidak bisa diprediksi serta bukan sesuatu yang salah atau dilarang.
Akan tetapi keputusan ini memiliki legitimasi yang tinggi. Karena telah melalui proses yang panjang dengan mempertimbangkan segala aspek. Tanpa ada maksud untuk menegasikan peran dan posisi kader-kader yang mengaku berkeringat darah dan air mata untuk PDIP.
Lebih jauh ia menjelaskan model pengambilan keputusan DPP PDIP harus menjadi contoh konkrit. Bahwa pertimbangan politik, soiologis dan psikologis tentang figur yang ditetapkan sepenuhnya menjadi wewenang DPP.
Jika saja kader keberatan dengan keputusan ketua umum DPP PDIP, maka dapat melakukan koreksi melalui mekanisme internal partai yang sudah diatur dalam AD-ART partai. Bukan malah undur diri.
“Apalagi Ray Fernandes adalah kader partai yang juga sama-sama ikut dalam “fit and proper test” dalam proses penyaringan Bacalon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, yang secara mental harus sudah siap untuk lolos atau menerima kekalahan,”
“Karena itu reaksi Ray Fernandes, yang mundur jelas merupakan sikap cengeng yang berlebihan, emosional, tidak rasional, dan kekanak-kanakan, tanpa menunjukan sikap kesatria dan jiwa besar sebagaimana layaknya seorang kader banteng yang mengaku telah berkeringat darah dan air mata alias berdarah-darah untuk Partai,” kritik Petrus.
Perilaku Ray Fernandes yang demikian justru mencerminkan sikap destruktif karena bertolak belakang dengan klaim dirinya sebagai kader partai yang berkeringat darah.
Dengan demikian maka Ray Fernandes, sesungguhnya bukanlah seorang kader partai.
Ray dinilai tidak memiliki kualifikasi untuk ikut dalam kontestasi pilgub NTT.
Menurut Petrus, dalam konstelasi politik terkini menuntut banyak syarat dan kriteria harus dimiliki dan itulah yang dihayati, dipahami dan diterima oleh mayoritas kader PDIP di seluruh Indonesia.
Petrus menilai, Ray ternyata orang yang memiliki sikap arogansi, kontraproduktif dan berkarakter destruktif. (Nus/Nal/Beritaflores).