Oleh Frans Anggal
Para imam dan beberapa awam Katolik asal Manggarai Timur melayangkan surat ke Presiden Jokowi. Mereka meminta presiden memperhatikan kondisi jalan di Kabupaten Manggarai Timur, khususnya di Kecamatan Elar dan Elar Selatan.
Ole yang benar saja ta para imam ini! Kenapa main tembak langsung ke presiden? Apakah bupati, gubernur, DPRD sudah mati semua? Kalau mereka masih hidup segar bugar makmur sejahtera lahir batin, mengapa surat tidak ditujukan saja kepada mereka?
Tentang alasan langsung menyurati presiden, para imam menggunakan pertanyaan retoris. Yakni pertanyaan yang tidak menuntut jawaban, karena jawabannya sudah ada dalam benak semua orang, sudah tahu sama tahu.
“Bupati tidak tahu ke mana? Gubernur? DPRD? Semua ke mana?” Begitu kata para imam. Ini bentuk lain dari pernyataan: mereka semua tidak ke mana-mana. Mereka semua ada di sini. Yang tidak ada di sini adalah perhatian dan kepedulian mereka. Mungkin tinggal presiden yang peduli. Karena itu, kepada presidenlah surat dilayangkan. Kira-kira begitu.
Kata figuratif dari ketidakpedulian adalah “tidur lelap”, bahasa Manggarainya “toko lemot”. Kata “tidur” ditemukan pada alinea terakhir surat, ketika para imam meminta presiden meningkatkan status jalan menjadi jalan stratagis nasional: Kisol – Paan Leleng – Mbata – Mamba – Wukir – Elar – Mombok – Bea Laing.
“Tolong buatkan kami jalan, juga jembatan untuk membuka akses ke Wukir dan daerah sekitarnya, dan melihat bupati dan gubernur kami yang ‘mungkin’ lagi tidur di atas kasur jabatan, kami memohon …” Begitu tulis para imam.
Alasan para imam tergerak hatinya tembak langsung ke presiden kiranya sudah jelas. Hancurnya infrastruktur jalan-jembatan di satu sisi, dan rendahnya kepedulian pemerintah di sisi lain. Itu!
Sudah bukan rahasia lagi, saking seringnya diberitakan di medsos, ruas jalan Elar dan Elar Selatan sangatlah terkenal. Terkenal karena rusaknya. Ada ilustrasi simbolik, semacam humor tapi perih, yang membuat masyarakat dua kecamatan itu sempat tersenyum. Tapi tolong jangan disalah kira. Senyum mereka senyum derita, bukan senyum bahagia. Mereka tersenyum karena sudah tidak tahu lagi bagaimana harus menangis!
Pada titik nadir hilangnya segala harapan, yang masyarakat minta dari pemerintah bukan lagi lapen, apalagi hotmiks. Bukan. Itu mimpi di siang bolong. Yang mereka minta hanya satu. Sesuatu yang mungkin tidak ada dalam benak masyarakat kabupaten lain. Apa itu? Oh Tuhan, mereka minta sekam! Bahasa Manggarainya “ba’o”.
Pada ruas jalan tanah yang licin, ban belakang kendaraan hanya bisa berputar di tempat. Makim lama, makin dalam ban terbenam. Agar kendaraan bisa keluar dari jebakan ini, jalan harus disirami sekam, berkarung-karung. Dari kisah perih ini, masyarakat punya gagasan tentang apa yang sepantasnya diminta kepada pemerintah. Lapen dan hotmiks itu mimpi. Mereka membuat proposal pengadaan sekam, untuk disiram sepanjang ruas jalur neraka itu.
Dalam dan dengan perih seperti inilah para imam berinisiatif menyurati presiden. Mereka minta peningkatan status jalan. Itu berarti minta hotmiks minimal lapen. Sedangkan kepada pemkab dan pemprov cukup minta sekam, dan itu sudah dilakukan masyarakat.
Di Kabupaten Ende, enam tahun lalu, pernah terjadi tindakan simbolik kekecewaan masyarakat lantaran ruas jalan yang menghubungkan kota dan Pelabuhan Ipi tak kunjung diperbaiki meski sudah dikeluhkan berkali-kali. Ruas jalan itu tergenang air saat hujan.
Apa yang dilakukan warga? Mereka menanam pohon pisang di tengah ruas jalan itu. Pohon setinggi 3 meter menyembul di tengah “kolam” di badan jalan. Di tepi “kolam” tertancap sebuah papan peringatan: “Pejabat buka mata/hatimu” (Flores Pos, Senin 14 Maret 2011).
Seperti pada proposal sekam dari Elar dan Elar Selatan, pada aksi tanam pisang di Ende ini ada satu hal yang hendak diperlihatkan warga: kami kecewa. Itu poinnya.
Setelah keluhan tidak didengarkan, dan setelah yakin pemerintah menutup mata dan hati, masyarakat memilih jalannya sendiri. Proposal sekam diajukan, penanaman pisang dilakukan.
Setelah keluhan tidak didengarkan, dan setelah yakin pemerintah menutup mata dan hati, masyarakat memilih jalannya sendiri. Proposal sekam diajukan, penanaman pisang dilakukan.
Tindakan mereka ini tidak boleh dibaca lurus. Ini tindakan simbolik dan sesungguhnya politis. Untuk apa? Untuk didengar dan dilihat oleh pemerintah, pakai telinga dan mata hati.
Sebagai tindakan simbolik-politis, cara mereka ini kreatif. Pertama, tidak destruktif. Kedua, efektif menyedot perhatian. Pada tahap awal, ini merengkuh perhatian media. Pada kasus Ende, Flores Pos menempatkannya di halaman depan, dengan judul “Masyarakat Tanam Pisang di Tengah Jalan”. Fotonya jadi foto master. Kalau sudah begini, tidak mungkin bupati-wabup tinggal diam. Kedua pejabat ini pasti segera bertindak. Itu di Ende. Di Manggarai Timur lain ceritanya.
Jalan yang disebut para imam dalam surat kepada presiden adalah jalan provinsi. Itu tanggung jawab gubernur, pemprov.
Hampir pada semua tempat di Manggarai Timur, yang namanya jalan provinsi ya hancur lebur. Kalau soal jalan, betul, harus diakui jujur, gubernur NTT benar-benar tidur lelap, “toko lemot”. Kebijakan anggarannya untuk perbaikan dan peningkatan jalan sangat lemah.
Bayangkan kebijakan pemprov ini: anggaran untuk jalan, hanya satu kilometer satu tahun untuk satu kebupaten. Kalau panjang jalannya 50 km? Tunggu 50 tahun baru kelar? Konyol.
Ini gambaran, infrastruktur jalan dan jembatan tidak menjadi program prioritas gubernur. Beda jauh cara pandangnya dengan Presiden Jokowi. Presiden lebih punya “sense” atau kepekaan rasa dalam hal ini. Maka, masuk akal kalau para imam tembak langsung kepada presiden. Mereka tembak langsung kepada pemimpin yang punya “sense”.
“Sense” penting bagi seorang pemimpin. Dalam kondisi infrastruktur dasar jalan dan jembatan yang masih sangat memprihatinkan, tidak meleknya pemimpin menunjukkan dia tidak punya “sense of crisis”, yaitu kepekaan merasakan gentingnya masalah. Di sisi lain, tidak tergeraknya dia mendahulukan perbaikan dan peningkatan kualitas infrastrutur dasar itu memperlihatkan dia tidak punya “sense of urgency”, yakni kepekaan merasakan mana yang mendesak didahulukan.
Kita butuhkan pemimpin peka-rasa. Bukan pemimpin pekak-rasa. Terlanjur memilihnya adalah kecelakaan sejarah. Memilihnya kembali adalah penghinaan akal sehat. ****
Penulis adalah kolumnis, mantan Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos